IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) ialah organisasi mahasiswa Islam di Indonesia
yang memiliki hubungan struktural dengan organisasi Muhammadiyah dengan
kedudukan sebagai organisasi otonom. Memiliki tujuan terbentuknya akademisi
Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Keberadaan
IMM di perguruan tinggi Muhammadiyah telah diatur secara jelas dalam qoidah
pada bab 10 pasal 39 ayat 3: "Organisasi Mahasiswa yang ada di dalam
Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah Senat Mahasiswa dan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM)”. Sedangkan di kampus perguruan tinggi lainnya, IMM bergerak
dengan status organisasi ekstra-kampus — sama seperti Himpunan Mahasiswa Islam
mapun KAMMI — dengan anggota para mahasiswa yang sebelumnya pernah bersekolah
di sekolah Muhammadiyah.
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan di Yogyakarta pada
tangal 14 Maret 1964, bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya di Muhammadiyah, IMM paling belakangan dibentuknya. Organisasi otonom lainnya seperti Nasyiatul `Aisyiyah (NA) didirikan pada tanggal 16 Mei 1931 (28 Dzulhijjah 1349 H); Pemuda Muhammadiyah dibentuk pada tanggal 2 Mei 1932 (25 Dzulhijjah 1350 H); dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, yang namanya diganti menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah [IRM]) didirikan pada tanggal 18 Juli 1961 (5 Shaffar 1381 H).
tangal 14 Maret 1964, bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya di Muhammadiyah, IMM paling belakangan dibentuknya. Organisasi otonom lainnya seperti Nasyiatul `Aisyiyah (NA) didirikan pada tanggal 16 Mei 1931 (28 Dzulhijjah 1349 H); Pemuda Muhammadiyah dibentuk pada tanggal 2 Mei 1932 (25 Dzulhijjah 1350 H); dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, yang namanya diganti menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah [IRM]) didirikan pada tanggal 18 Juli 1961 (5 Shaffar 1381 H).
Kelahiran
IMM dan keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang
melatarbelakangi, mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan
umat dan bangsa, dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta
kehidupan organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM
memiliki sejarahnya sendiri yang unik. Hal ini karena sejarah kelahiran IMM
tidak luput dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang
ada yang menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak
apresiatif terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM
dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an; serta
menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada waktu itu.
Ketika
IMM dibentuk secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang
gencar dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam mau dibubarkan oleh rezim
kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan dan persepsi yang keliru
bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan mewadahi anggota HMI jika
dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena HMI tidak jadi dibubarkan,
maka IMM tidak perlu didirikan. Anggapan dan klaim yang mengatakan bahwa IMM
lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin Agham, adalah keliru dan
kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap fakta dan data sejarah.
Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran IMM adalah untuk
membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan PKI yang
menginginkannya untuk dibubarkan.
Penilaian
yang kurang apresiatif terhadap kelahiran IMM juga bisa terbaca pada jawaban
terhadap pertanyaan Victor I. Tanja. Dalam bukunya Tanja mempertanyakan:
Barangkali kita akan heran, mengapa Muhammadiyah memandang perlu untuk
membentuk organisasi mahasiswanya sendiri? Dari salah seorang anggota HMI (yang
tidak disebutkan atau menyebutkan namanya) keluar jawaban, bahwa selama masa
pemerintahan Presiden Soekarno dahulu untuk mendapatkan persetujuan darinya,
sebuah organisasi harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai dukungan kuat dari
masyarakat luas. Untuk memenuhi persayaratan inilah maka bukan saja
Muhammadiyah, tetapi semua gerakan sosial politik yang ada di tanah air harus
membentuk sebanyak mungkin organisasi-organisasi penunjang.
Latar
Belakang Sejarah
Sesungguhnya
ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah
berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan
faktor intern adalah faktor yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah
itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang
dari dan berada di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat
dan bangsa serta dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor
intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari dalam, yaitu
dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk
mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti
bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat
yang majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual,
profesional, mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi
dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan
tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan
memengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan
menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan
mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi
mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres
Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada
kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan
universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun
demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa
Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu
Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya,
maka para mahasiswa yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan
Muhammadiyah itu diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan
Pemuda Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada
tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk
mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936,
yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Pada
tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di Yogyakarta
berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang
kemudian berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian,
cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum
bisa terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah—yang
waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi—terikat Ikrar Abadi umat Islam
yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya
menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.
Sejak
kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun
1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya organisasi yang khusus
mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar
Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa
perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di
Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi
mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai
diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal
dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr.
Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan
untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para
mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z.
Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan
dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi
sebagai Ketua Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan
kepada PP Muhammadiyah—yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi—untuk
mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah—atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian disetujui oleh
PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384).
Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta;
dan ditandai dengan penandatanganan "Enam Penegasan IMM" oleh K.H.
Ahmad Badawi, yang berbunyi:
Menegaskan
bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
Menegaskan
bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
Menegaskan
bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
Menegaskan
bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan untuk
kepentingan rakyat.
Sedangkan
faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan kondisi kehidupan di
luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak bertalian dengan keadaan
umat Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika
gerakan mahasiswa.
Keadaan
dan kehidupan umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham,
dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah
mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat.
Sementara
itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh
ideologi komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik
kekuasaan antar golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu
Indonesia telah merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa
mencerminkan makna dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan
kedaulatan rakyat terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme
merajalela akibat kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan
politik Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun '60-an, tulis
Cosmas Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa
perkembangan dan kehidupan politik saat itu diwarnai oleh tiga pelaku politik
yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali
angkatan Darat); dan PKI. Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan
memengaruhi perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di
berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa,
orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan
tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno
adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL
(Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti
dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik tersebut, pergolakan
organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan terjadinya G30S 1965 terlihat
menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI.
Pada waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8 Juni
1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia;
yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa
Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa
Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke dalam PPMI
(Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang bersifat
independen. Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan anti-imperialisme
pada mulanya berjalan kompak. Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa
Asia Afrika (KMAA) di Bandung tahun 1957—yang menjadi prestasi puncak
PPMI—masing-masing organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada
tahun 1958 PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi
intervensi untuk memengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari PPMI.
Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI tersebut, maka
masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan oktober 1965,
setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan diri. Sasaran
gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan mahasiswa dan kehidupan
kampus serta ingin menyingkirkan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti
HMI.
Sesungguhnya
sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai 1965 masing-masing
organisasi mahasiswa yang berfusi di dalamnya bersikap sok revolusioner. Pada
akhirnya HMI juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dari kekuatan
revolusioner. Menurut Deliar Noer, waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan
senandung Demokrasi Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan
seperti "Nasakom jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang
Malaysia". Bahkan pada tahun 1964 HMI memecat beberapa anggota
penasihatnya yang telah alumni karena tidak sesuai dengan revolusi. HMI juga
mengecam keras Kasman Singodimedjo yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor
dan menuntut dihukum sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati
HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian dari kekuatan
revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI dan/atau PKI untuk
dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan mahasiswa Muhammadiyah
lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384 H). Itulah sebabnya muncul
persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk adalah sebagai persiapan untuk
menampung aggota-anggota HMI kalau terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini
dikaitkan dengan dekatnya hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana
diketahui bahwa HMI pada mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang
Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah
lain.
Persepsi
tersebut adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor historisnya
adalah justru untuk membantu dan mempertahankan eksistensi HMI supaya tidak
mempan dengan usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran
IMM diperuntukkan untuk mengganti HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu
repot-repot terlibat dalam beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di
antara praduga mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan
adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM—kendati ide dasarnya sudah ada
sejak tahun 1936—dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul pertanyaan (yang
menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung terlibat dalam peristiwa
nasional dan sejarah besar dalam pergulatan bangsa melawan dan menghancurkan
PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia), dan Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada
saat dibentuknya KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM
sendiri pada masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan teror PKI.
Reaksi jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak saja tejadi di
pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan eksistensi IMM yang
baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan silaturahmi dengan
Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14 Februari 1965 DPP
IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan Mahasiswa
Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh Presiden
Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern Muhammadiyah, maka
tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya bergabung dengan HMI
kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan IMM. Dalam hal ini juga
muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM dilahirkan oleh HMI.
Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang terlibat menghembangkan HMI,
karena waktu itu IMM belum ada. Sementara keterlibatan mereka di HMI adalah
untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di
HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan
ormas keislaman itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh
karena itu adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah
sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di
Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga perlu
dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang terlibat dalam
mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya adalah mereka yang
betul-betul tidak pernah terlibat dalam HMI. Berdirinya IMM berdasarkan
perjalanan sejarahnya tersebut adalah karena tuntutan dan keharusan sejarah
(historical nessecity) dalam kontek kehidupan umat, bangsa, dan negara serta
dinamika gerakan mahasiswa di Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah:
1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam; 3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan,
dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah; 4. Sebagai pelopor,
pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah; 5.
Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan
bangsa, umat, dan persyarikatan.
Dinamika
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seperti halnya organisasi-organisasi lain, dalam
karier sejarahnya IMM mengalami dinamika gerakan yang naik turun dan pasang
surut. Selama lebih dari tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat
periode gerakan. Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua,
periode pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985).
Keempat, periode kebangkitan (1985-?).
Dalam
periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda harus
berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di
tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan dan
kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek
Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam periode ini kegiatan-kegiatan IMM
lebih banyak diarahkan kepada pembinaan personel, penguatan organisasi,
pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam
periode ini pula pola gerakan, prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM
berhasil ditetapkan.
Dalam
periode ini telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional (Muktamar) dan
empat kali Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk lima kali formasi
kepemimpinan IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman Al-Kindi terus menjadi
Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan pertama (DPP Sementara) pra-Munas berlangsung
dari tahun 1964-1965, dengan Ketuanya Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan
kedua (1965-1967) adalah hasil Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum:
Mohammad Djazman Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh.
Kepemimpinan ketiga hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap;
dan Soedibjo Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969)
hasil Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan
Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil reshuffle pada
Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya masih tetap; sedangkan
yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain
Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya seperti: A.
Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno Muhdam, Zulkabir,
Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun, Fathurrahman, Soemarwan,
Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M. Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu
Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais, Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati,
Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun Husein, dll. Peran dan kehendak IMM
untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya secara signifikan dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk kepentingan ummat dan
Muhammadiyah selama periode ini tampak menonjol, baik melalui pernyataan
deklarasi-deklarasinya—seperti Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut
1967—maupun dengan aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun
1971-1975 disebut sebagai periode pengembangan, karena masalah-masalah yang
menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak
dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak
diarahkan pada pengembangan organisasi seperti melalui program-program sosial,
ekonomi, dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern
IMM terhadap masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah
gejolak sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang
dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan
pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu
kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19
Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun
Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan penambahan
personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum,
Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.
Dalam
periode ini pula terjadi peristiwa penting yang mewarnai keberadaan IMM, yaitu
dalam hal pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan peristiwa
Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974). Waktu itu IMM tidak diakui sebagai
salah satu pencetus kelahiran KNPI (23 Juli 1973), karena tidak ikut
menandatangani Deklarasi Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI.
Sementara, pembuat dan perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet
Sukirnanto, salah seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia
menandatangani deklarasi tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet
Sukirnanto menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah
generasi muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai wadah
komunikasi antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat pribadi. Namun
ternyata pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan organisasi. Dalam hal
inilah letak persoalannya. Secara organisatoris, Slamet Sukirnanto menolak
menandatangani deklarasi itu, tetapi secara pribadi ia bersedia. Ketika terjadi
peristiwa Malari—yang berakibat pada tindakan represif terhadap gerakan
mahasiswa--, maka pada tanggal 16 Januari 1974 IMM mengirim surat kepada
Presiden Soeharto untuk mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran
obyektif mengenai kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini
diharapkan dapat tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan
negara yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang policy.
Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah tidak
memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.
Di
antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai
pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu usaha
"human investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa depan
bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk menumbuhkan dan
membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai masalah organisasi mahasiswa,
IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus berfungsi sebagai organisasi kader
dan sekaligus dakwah. Karena itu organisasi mahasiswa harus menganut asas
potensi, partisipasi, keluwesan, dan kesederhanaan.
Sedangkan
dalam hal generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya harus senantiasa
dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional yang berjangka panjang. Untuk
itu perlu adanya pembauran antara konsep generasi muda sebagai pelanjut dengan
konsep generasi muda sebagai pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan
antara pengertian kader dan pioner.
Setelah
melewati periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan, pada tahun
1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan. Dalam periode ini Muktamar IV IMM
di Semarang (21-25 Desember 1975), menghasilkan Zulkabir sebagai Ketua Umum;
dan M. Alfian Darmawan sebagai Sekjen. Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak
menghadapi konflik atau tantangan yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini
mengalami stagnasi. Namun persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman
kepemimpinan di tingkat nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa.
Selama periode ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi
kepemimpinan, atau dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau
muktamar, yang seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman
dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan keprihatinan dan keheranan
bagi banyak pihak, khususnya di kalangan Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun
1983, H.S. Prodjokusumo misalnya menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM
Bangkitlah. Kemudian dengan nada menyindir dan dalam gaya personifikasi—tanpa
bisa menutupi kekecewaannya tehadap IMM—Umar Hasyim menulis: "Merenungi
sejarahmu, kita jadi heran, ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda
dengan lelapnya tidur nyenyak selama sepuluh tahun, karena pada bulan April
1986 engkau baru berhasil bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi.
Sungguh luar biasa sekali, suasana dunia dimana anda berada ini demikian gegap
gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur." Namun demikian, kendati di
tingkat DPP terjadi kevakuman, justru di bawahnya IMM tetap eksis dan bergerak.
Aktivitas kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di tingkat bawah itu terus
berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak memengaruhi aktivitas IMM di Daerah, Cabang,
dan Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat melekat pada jiwa para
pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah IMM masih tetap tumbuh subur.
Meski berada dalam periode tantangan, IMM masih tetap berusaha untuk melahirkan
ide dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan gagasannya itu adalah mengenai
perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan gagasan pemikiran tersebut
berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan kepemudaan yang tidak mempunyai
saluran yang semestinya. Untuk itulah IMM mengusulkan kepada Presiden Soeharto
untuk mengnagkat seorang Menteri Negara Urusan Pemuda yang menyelenggarakan dan
membina komunikasi dengan seluruh eksponen generasi muda. Kemudian, ketika
terjadi Keputusan 15 November 1978 (KNOP 15), IMM mengusulkan perlunya
pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal ini mengingat telah
terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak produktif. Di samping
itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri kecil agar dapat bersaing
dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan kepada pemerintah. Demikian pula
halnya dengan pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja perlu diperhatikan
oleh pemerintah. Setelah mengalami kevakuman dan kemandegan selama satu
dasawarsa itu, maka pada tahun 1985 IMM mulai memasuki periode kebangkitan.
Periode ini dimulai dengan adanya SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal
31 Agustus 1985 tentang pembentukan DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri
dari:
Ketua
: Immawan Wahyudi (DIY)
Ketua
I : Drs. Anwar Abbas (DKI)
Ketua
II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI)
Ketua
III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
Sekretaris
I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
Sekretaris
II : Nizam Burhanuddin (DKI)
Sekretarus
III: Agus Syamsuddin (DIY)
Bendahara
I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
Bendahara
II : Asmuyeni Muchtar (DKI)
Setelah
dilantik pada tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata organisasi dan
menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985 DPP(S) berhasil
mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang bertemakan "Bangkit
dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini pada akhirnya mampu membangkitkan IMM
dari tidurnya yang panjang. Hingga kemudian pada tanggal 14-18 april 1986
DPP(S) berhasil menyelenggarakan Muktamar ke-5 IMM di Padang, Sumatra Barat.
Selain pada akhirnya berhasil menyusun kepengurusan DPP IMM yang baru periode
1986-1989 (Ketua Umum: Nizam Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi),
Muktamar V itu juga mampu merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan
umat kaitannya dengan identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan,
pengembangan organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM
juga bisa menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan
keberpihakan IMM terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat Islam di
Indonesia, Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi muda dan
mahasiswa. Dalam periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari halangan dan
tantangan. Artikulasi gerakan IMM pun mengalami dinamika dan fluktuasi. Dalam
periode kebangkitan (sampai sekarang) ini IMM telah mengalami beberapa kali
Muktamar dan Tanwir, yang berperan untuk menpertahankan eksistensi IMM dan
menyinambungkan regenerasi kepemimpinannya.
Muktamar
VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM (periode 1989-1992),
dengan M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian
Tanwir VIII di Medan (24-28 April 1991), memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai
Sekjen, menggantikan Fauzan. Pada tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil
menyelenggarakan Muktamar VII di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar
W sebagai Ketua Umum; dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995.
Selanjutnya, pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian
Ketua Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan
Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995 IMM
kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih Syahril Syah
sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen untuk periode
1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997, IMM kembali
mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan Badillah sebagai Ketua
Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk periode 1997-2000. Sampai
sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC, serta anggota sebanyak kurang lebih
567.000 orang. Anggota IMM tersebut tersebar di berbagai perguruan tinggi
negeri dan swasta serta perguruan tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi
gerakan IMM tidak terbatas dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program
kerja yang rutin belaka, tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons
persoalan-persoalan sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal,
nasional, maupun global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena
IMM tidak ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif
oleh perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi aksi-aksi
gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan kaum intelektual
pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri dan aktif bergerak di
dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah, bersama eksponen Angkatan Muda
Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk mendukung dan menyukseskan aksi gerakan
reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya. Di Yogyakarta misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama
organisasi otonom lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan
reformasi. Selain itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak
mengadakan aksi dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah
lainnya, seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front
Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR
(Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan berlangsung
jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, IMM
juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada waktu akan, selama, dan
sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM telah mengirimkan Immawan
Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan Internasional DPP IMM)
ke Timor-Timur untuk melakukan pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan
dan Struktur Organisasi Seperti Muhammadiyah dan organisasi otonom lainnya,
secara vertikal IMM memiliki susunan organisasi mulai dari tingkat pusat sampai
komisariat. Lengkapnya: Komisariat, Cabang, Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya
disebut Pmpinan Komisariat (PK), Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah
(DPD), dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam
suatu fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan
komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu.
Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I.
Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai
salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari susunan
organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal dengan
Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan PW
Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR
Muhammadiyah.
Adapun
struktur organisasi IMM, berdasarkan hasil Muktamar IX di Medan adalah sebagai
berikut. Mulai dari tingkat DPP sampai PK terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris
Jenderal—khusus untuk DPP, sedang untuk DPD sampai PK: Sekretaris Umum--,
Bendahara Umum (bersama dua wakilnya); ditambah dengan beberapa Ketua Bidang
dan Sekretaris Bidang (Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Hikmah. Sosial Ekonomi, dan Immawati). Struktur organisasi ini dibantu oleh
sebuah biro, beberapa lembaga studi, dan dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri
dan Hubungan Iternasional [hanya ada di DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan
Pengembangan Organisasi; Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Kader;
Lembaga Pengembangan Ilmu Agama dan Sosial Budaya; Lembaga Penelitian,
Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya ada di tingkat DPP
dan DPD]; Lembaga Pengkajian Strategi dan Kebijakan; Lembaga Kesejahteraan
Rakyat dan Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan Pengembangan Ekonomi Ummat
[istilah lembaga hanya untuk DPP dan DPD, sedang di PC menggunakan istilah
departemen]; Korps Instruktur [hanya ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps
Immawati). Kemudian di tingkat PK, departemen yang ada adalah: Departemen
Organisasi, Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial Ekonomi.
Program
Kerja
Secara
umum program kerja IMM dilaksanakan untuk memantapkan eksistensi organisasi
demi mencapai tujuannya, "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang
berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" (AD IMM Pasal
6). Untuk menunjang pencapaian tujuan IMM tersebut, maka perencanaan dan
pelaksanaan program kerja diorientasikan bagi terbentuknya profil kader IMM
yang memiliki kompetensi dasar aqidah, kompetensi dasar intelektual, dan
kompetensi dasar humanitas . Sebagai organisasi yang bergerak di bidang
keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan, maka program kerja IMM pada
dasarnya tidak bisa lepas dari tiga bidang garapan tersebut. Perencanaan dan
pelaksanaan program kerja tersebut memiliki stressing yang berbeda-beda
(berurutan dan saling menunjang) pada masing-masing level kepemimpinan.
Di
tingkat Komisariat: kemahasiswaan, perkaderan, keorganisasian, kemasyarakatan.
Di
tingkat Cabang: Perkaderan, kemahasiswaan, keorganisasian, kemasyarakatan.
Di
tingkat Daerah: keorganisasian, kemasyarakatan, perkaderan, kemahasiswaan.
Di
tingkast Pusat: Kemasyarakatan, keorganisasian, perkaderan, kemahasiswaan.
Berkaitan
dengan program kerja jangka panjang, maka sasaran utamanya diarahkan pada upaya
perumusan visi dan peran sosial politik IMM memasuki abad XXI. Hal ini tidak
lepas dari ikhtiar untuk memantapkan eksistensi IMM demi tercapainya tujuan
organisasi (lihat AD IMM Pasal 6). Sasaran utama dan program jangka panjang ini
merujuk pada dan melanjutkan prioritas program yang telah diputuskan pada
Muktamar VII IMM di Purwokerto (1992). Program dimaksud menetapkan strategi
pembinaan dan pengembangan organisasi secara bertahap, sistematis, dan
berkelanjutan selama lima periode muktamar IMM.
Periode
Muktamar IX diarahkan pada pemantapan konsolidasi internal (organisasi,
pimpinan, dan program) dengan meningkatkan upaya pembangunan kualitas
institusional dan pemantapan mekanisme kaderisasi dalam menghadapi perkembangan
situasi sosial politik nasional yang semakin dinamis. Periode Muktamar X
diarahkan pada penguatan orientasi kekaderan dengan meningkatkan mutu sumber
daya kader sebagai penopang utama kekuatan organisasi dalam transformasi sosial
masyarakat. Periode Muktamar XI diarahkan pada penguatan peran institusi
organisasi baik secara internal (pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan
pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah) maupun eksternal (kader umat dan kader
bangsa).
Periode
Muktamar XII diarahkan pada pemantapan peran IMM dalam wilayah kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memasuki era globalisasi yang lebih
luas. Periode Muktamar XIII diarahkan pada pemberdayaan institusi organisasi
serta pemantapan peranan IMM dalam kehidupan sosial politik bangsa.
Kemudian
pelaksanaan program jangka panjang itu memiliki sasaran khusus pada
masing-masing bidangnya. Bidang Organisasi diarahkan pada terciptanya struktur
dan fungsi organisasi serta mekanisme kepemimpinan yang mantap dan mendukung
gerak IMM dalam mencapai tujuannya. Program konsolidasi gerakan IMM juga diarahkan
bagi terciptanya kekuatan gerak IMM baik ke dalam maupun ke luar sebagai modal
penggerak bagi pengembangan gerakan IMM. Bidang Kaderisasi diarahkan pada
penguatan tiga kompetensi dasar kader IMM (aqidah, intelektual, dan humanitas)
yang secara dinamis mampu menempatkan diri sebagai agen pelaku perubahan sosial
bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi diarahkan pada pembangunan budaya iptek dan penguatan paradigma ilmu
yang melandasi setiap agenda dan aksi gerakan IMMdalam menyikapi tantangan
zaman. Bidang Hikmah diarahkan pada penguatan peran sosial politik IMM di
tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam peran serta dan
partisipasi sosial politik generasi muda (mahasiswa). Bidang Sosial Ekonomi
diarahkan pada penumbuhkembangan budaya dan wawasan wiraswasta di lingkungan
IMM, terutama dalam membangun dan memberdayakan potensi ekonomi kerakyatan.
Bidang Immawati diarahkan pada upaya penguatan jati diri dan peran aktif sumber
daya kader puteri IMM dalam transformasi sosial menuju masyarakat utama.
Pimpinan
Tingkatan
Kepemimpinan
DPP
(Dewan Pimpinan Pusat) berkedudukan di Ibukota Indonesia
DPD
(Dewan Pimpinan Daerah) berkedudukan di Ibukota Provinsi
PC
(Pimpinan Cabang) berkedudukan di Ibukota Kabupaten
PK
(Pimpinan Komisariat) berkedudukan di Fakultas/Universitas
Selain
itu, IMM juga mempunyai lembaga pimpinan yang dinamakan dengan KORKOM
(koordinator komisariat) yang dibentuk di suatu universitas yang mempunyai
komisariat lebih dari 2. Tugasnya adalah untuk mengkoodinir dan membantu kerja
Pimpinan Cabang di suatu Universitas.
Khusus
IMM di Fakultas Teknik (Komisariat Aufklärung) Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) memiliki tingkatan kepemimpinan di bawah komisariat yaitu yang disebut
"Rayon". Rayon ini berkedudukan di jurusan bukan fakultas. Rayon
dibentuk berlandaskan Musyawarah Komisariat "Aufklärung Teknik".
Khusus
IMM di Kabupten pasaman barat sumatera barat :
1.ketua
PC IMM adalah Devi Irawan
2.ketua
PK IMM Ujung Gading adalah Aditya Pratama
3.ketua
PK IMM Simpang Empat adalah Wedia Andy Kuswata
Bibliografi
Agham,
Noor Chozin, Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Dari Muktamar I sampai Muktamar V, Jakarta: Yayasan Penerbit Pers
Perkasa bersama Penerbit dan Percetakan Dikdasmen PP Muhammadiyah, 1997.
Batubara,
Cosmas, "Kilas Balik Kelahiran Orde Baru dan Peranan Para Mahasiswa"
dalam Haris Munandar (Peny.), Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak
Asasi di Indonesia: Kumpulan Esei Guna Menghormati Prof. Miriam Budiardjo,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.
DPP
IMM, Tanfidz Keputusan Muktamar VIII IMM, 1995.
-------,
Tanfidz Keputusan Muktamar IX IMM, 1997.
Fathoni
AF, Farid, Kelahiran yang Dipersoalkan, Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah 1964-1990, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.
Hamid,
Almisar et al., Seperempat Abad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta: DPP
IMM, 1989.
Hasyim,
Umar, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan Pendidikan:
Kritik dan Terapinya, Surabya: PT Bina Ilmu 1990.
Noer,
Deliar, Partai Islam di Pentas Politik Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti
Pers, 1987.
Tanja,
Victor I., Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah
Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Sumber, http://id.wikipedia.org/wiki/IMM